Monday, June 13, 2011

Penetapan Rendemen Tebu sebagai Titik Pangkal Kemitraan yang Adil

Variebel utama pola perhitungan bagi hasil antara petani tebu rakyat (PTR) dengan pabrik gula adalah rendemen. Sampai saat ini masalah perhitungan rendemen masih menjadi sumber konflik dalam kemitraan yang berlangsung. Petani masih mengganggap rendemen yang diperoleh tidak sesuai dengan potensi tanaman yang telah diusahakan selama satu tahun.

Kandungan gula yang kemudian diolah menjadi gula kristal atau hablur sangat ditentukan oleh pelaksanaan teknis budidaya sampai dengan tebang angkut ke pabrik gula. Selanjutnya tebu diolah di pabrik dan rendemen dihitung berdasarkan ratio antara hasil hablur dengan bobot tebu yang digiling. Hasil gula petani dipengaruhi oleh tingkat efisiensi pabrik gula. Alur dari kebun sampai hasil akhir dapat digambarkan sebagai berikut:

Seharusnya petani memperoleh rendemen dari tebu yang berada di emplasemen. Artinya rendemen harus diukur begitu tebu sampai di lokasi emplasemen dengan metode yang tepat dan secara individu atau kelompok. Pengukuran rendemen sebelum masuk pabrik dikenal dengan potensi rendemen yang dirumuskan sebagai hasil kali antara NNPP (nilai nira perahan pertama) dengan KNT (kadar nira tebu). Rendemen untuk dasar bagi hasil adalah hasil kali antara potensi rendemen dengan efisiensi pabrik. Agar petani mendapat haknya sesuai dengan potensi rendemennya, maka faktor efisiensi pabrik harus ditetapkan dengan angka normal.

Perhitungan rendemen sebelum tebu masuk pabrik dapat digunakan untuk dasar bagi hasil (SBH) pada sistem yang sekarang berjalan atau sistem belu putus (SBP) tebu yang telah direkomendasikan oleh Panja Gula Komisi VI DPR – RI. Dengan cara perhitungan rendemen ini petani tidak dirugikan jika pabrik mengalami kerusakan atau kinerjanya tidak efisien.

Thursday, March 31, 2011

Bahan kuliah: Pengolahan Tanah


Bahan kuliah selengkapnya bisa didownload di sini

Pembangunan Pabrik Gula Rajawali Group di Merauke

Indonesia saat ini sangat memerlukan peningkatan produksi gula untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Salah satu programnya adalah dengan membangun perkebunan tebu dan pabrik gula baru di luar Jawa. Beberapa hari ini di harian Kompas diberitakan persiapan Rajawali Group dalam mengembangkan tebu di Merauke dan direncanakan giling perdana tahun 2013 dengan produksi 160.000 ton gula. Ini berita yang menggembirakan bagi masyarakat Indonesia. Namun sebagai orang yang menekuni tebu, saya berfikir apakah rencana tersebut sudah sesuai dengan kondisi lapangan, jadwal tanam dan pembangunan pabrik ? Jika direncanakan tahun 2013 giling seluas 8.500 ha, berarti tahun 2012 dan 2011 harus ditanam areal tebu giling (KTG) seluas masing-masing 4.250 ha. Hal ini berarti sekarang harus ada kebun bibit sekunder (Kebun Bibit Datar) seluas ± 800 ha. Dari berita dinyatakan bahwa saat ini baru ditanam 40 ha yang berarti hanya akan menjadi kebun bibit seluas maksimum 300 ha. Pertanyaannya adalah (1) bagaimana mempercepat pengadaan bibit ?, (2) apakah status lahan dengan ijin penglepasan dari Menteri Kehutanan dapat diperoleh tahun 2011 ini ?, dan (3) kapan pembangunan pabrik akan dimulai ?. Pengalaman pembangunan pabrik gula milik PT PSMI di Lampung dan PT LPI di Sumatera Selatan memakan waktu sekitar 2 tahun. Apakah kondisi Merauke sama dengan Sumatera ? Saya yakin para perencana di Rajawali Group sudah menyusun rencana dengan baik sehingga yakin jadwal giling perdana dapat dicapai. Semoga …

Saturday, January 22, 2011

Swasembada Gula Tahun 2014


Pemerintah melalui roadmap industri gula nasional mencanangkan swasembada gula pada tahun 2014. Pada saat itu total kebutuhan gula total (konsumsi rumah tangga dan industri makanan minuman) tidak kurang dari 5,3 juta ton. Target produksi gula ini akan dapat dicapai dengan asumsi produksi gula nasional dari pabrik yang ada menjadi 3,5 juta ton dan ada pembangunan pabrik gula baru dengan totalk areal 300 ribu ha.

Roadmap dibuat pada saat produksi gula nasional tahun 2008 sebesar 2,8 juta ton sehingga sangat optimis menambah produksi sebesar 0,7 juta ton. Bagaimana realisasinya sekarang? Produksi gula kristal putih tahun 2010 ternyata hanya sebesar 2,2 juta ton sehingga untuk mencapai angka 3,5 juta ton diperlukan tambahan produksi sebesar 1,3 juta ton. Sementara waktu yang tersisa sampai 2014 adalah 4 tahun berarti diperlukan rata-rata peningkatan produksi 400 ribu ton lebih. Jika berpijak pada angka 2,2 juta ton berarti harus ada peningkatan produksi sebesar 25% per tahun. Angka peningkatan ini pastilah sangat mustahil untuk dicapai dengan kondisi pergulaan yang ada sekarang. Bagaimana dengan pembangunan pabrik gula baru? Sampai tahun 2010 baru 2 pabrik gula baru yang mulai beroperasi, yaitu PT Laju Perdan Indah (LPI) di Ogan Komering Ulu Timur dan PT Pemuka Sakti Manis Indah di Lampung. Rencana pembangunan pabrik lain sampai akhir 2010 belum terdengar.

Tanpa koordinasi dan niat yang keras dari Pemerintah, tidak mungkin pembangunan pabrik gula baru terwujud dan nasib swasembada gula menjadi impian yang sangat menyakitkan. Produk hukum setingkat Inpres mungkin dapat dipertimbangkan, yaitu Inpres Penetapan Areal Perkebunan Tebu yang akan menjadi payung hukum penyediaan areal untuk perkebunan tebu. Orang boleh mempunyai target, tetapi jika tidak didukung ketegasan dan kemauan dari penguasa, semua hanya mimpi indah yang akan menyakitkan jika kita bangun dari tidur.

Wednesday, January 19, 2011

Simpang Siur Data Produksi Beras

Beras adalah salah satu komoditi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jadi sudah selayaknya semua perencanaan dan program kerja disusun berdasarkan data yang akurat. Saat ini terdapat beberapa versi data produksi beras, dan yang paling baru adalah perbedaan antara data BPS dengan data BULOG.

Marilah kita lupakan perbedaan ini dan kita analisis data dari BPS saja sebagai lembaga yang resmi dalam merilis data nasional. Produksi gabah tahun 2010 menurut BPS sebesar 65,98 juta ton atau setara dengan 40,88 juta ton beras. Jika ditambahkan stok beras di awal 2010 sebesar 1,62 juta ton, maka total stok beras tahun 2010 sebesar 42,5 juta ton. Angka ini sangat besar jika dibandingkan konsumsi sebesar 33,02 juta ton yang berarti surplus sekitar hampir 9,5 juta ton.

Kondisi tahun 2010 kenyataannya lebih jelek dari tahun 2009 sehingga seharusnya produksi tidak mungkin meningkat. Data di beberapa daerah menunjukkan penurunan produktivitas dan rendahnya rendemen gabah ke beras. Angka BPS masih menggunakan rendemen 62% padahal kenyataan di lapangan hanya sekitar 56%, sehingga jika produksi dianggap sama dengan tahun 2009, maka produksi beras seharusnya sebesar 36 juta ton. Data dari beberapa peneliti menunjukkan bahwa produksi beras sebenarnya ter-mark up 17% , artinya seharusnya prpduksi beras sebesar 34 juta ton. Dengan stok 1,6 juta ton, maka stok beras tahun 2010 berkisar antara 35 – 36 juta ton. Memang jika dengan tingkat konsumsi 33 juta ton, produksi tahun 2010 masih cukup. Jika stok mati di hitungan 2 juta ton, di awal tahun 2011 hanya terdapat sisa stok beras tidak lebih dari 1 – 2 juta ton. Kita berharap produksi tahun 2011 naik secara signifikan agar konsumsi yang pasti naik dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.