Wednesday, May 16, 2007

PENENTUAN RENDEMEN GULA SECARA CEPAT

Tujuan utama penanaman tebu adalah untuk memperoleh hasil hablur yang tinggi. Hablur adalah gula sukrosa yang dikristalkan. Dalam sistem produksi gula, pembentukan gula terjadi di dalam proses metabolisme tanaman. Proses ini terjadi di lapangan (on farm). Pabrik gula sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi gula kristal.

Hablur yang dihasilkan mencerminkan dengan rendemen tebu. Dalam prosesnya ternyata rendemen yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh keadaan tanaman dan proses penggilingan di pabrik. Untuk mendapatkan rendemen yang tinggi, tanaman harus bermutu baik dan ditebang pada saat yang tepat. Namun sebaik apapun mutu tebu, jika pabrik sebagai sarana pengolahan tidak baik, hablur yang didapat akan berbeda dengan kandungan sukrosa yang ada di batang. Oleh sebab itu sering terjadi permasalahan dengan cara penentuan rendemen di pabrik. Berbagai kasus yang mencuat dan bahkan menyebabkan konflik antara petani dan pabrik gula adalah karena ketidakjelasan penentuan rendemen.

Perhitungan rendemen memerlukan alat dan metode khusus yang selama ini hanya dilakukan di pabrik. Namun untuk keperluan penelitian dan keperluan kemitraan petani dengan pabrik diperlukan pengukuran rendemen dengan cara yang cepat dan sederhana. Salah satu alternatif metode pengukuran rendemen secara cepat adalah dengan hand refractometer. Tentu saja harus dengan suatu konversi dari hasil pengukuran dengan alat hand refractometer dengan rendemen tebu.

Manfaat Penentuan Rendemen Secara Cepat

1. Untuk Penelitian
Dalam penelitian budidaya tebu, sering dialami kesulitan pada saat melakukan analisis kandungan gula dan rendemen. Jumlah contoh yang kurang dan keterbatasan biaya dapat diatasi jika rendemen dapat diukur dengan alat hand refractometer. Dengan cara ini maka pengamatan dapat dilakukan lebih banyak, sehingga data yang diperoleh lebih lengkap.

2. Taksasi Hasil
Taksasi hasil tebu secara rutin dilakukan untuk menghitung berapa hasil tebu yang akan diperoleh pada satu areal. Namun untuk mengukur rendemen harus dilakukan dengan menggiling tebu di laboratorium. Untuk tingkat pabrik, pekerjaan ini tidak menjadi masalah, tetapi jika sistemnya jual tebu oleh petani di kebun maka diperlukan taksasii secara cepat, sehinga harga dapat ditetapkan dengan baik. Bagi pembeli dan penjual tidak akan mengalami kerugian.

3. Sistem bagi hasil
Salah satu permasalahan bagi hasil antara petani dan pabrik gula adalah masalah rendemen. Dalam proses pengolahan tebu di pabrik, beberapa tebu petani digabungkan menjadi satu dan rendemen yang digunakan dalam bagi hasil adalah rendemen gabungan tersebut. Hal ini dianggap tidak adil bagi petani yang tebunya bermutu tinggi, sebab hasil yang diperoleh sama dengan petani yang tebunya jelek (Lembaga Penelitian IPB, 2002). Pengukuran rendemen di pabrik dilakukan untuk tiap 50 ton tebu atau sekitar 10 lori/truk. Hal ini berarti dapat terjadi tebu dari beberapa petani digiling menjadi satu. Jika pengukuran rendemen dapat dilakukan sebelum tebu digiling, maka bagi hasil dilakukan dengan pembobotan dengan rendemen potesial dari masing-masing tebu.

4. Analisis Kinerja Pabrik Gula
Pengukuran secara cepat pada tiap tebu yang akan digiling dapat digunakan untuk menilai kinerja sebuah pabrik gula. Jika rendemen nyata dari pabrik memiliki nilai yang jauh lebih rendah dari rendemen analisis, maka dapat diartikan adanya kehilangan gula selama proses di pabrik. Hal ini dapat dijadikan salah satu dasar untuk mengevaluasi kondisi pabrik pada setiap stasiun (bagian) pengolahan.

Tuesday, May 15, 2007

MASIH JAUH DARI SWASEMBADA GULA

JURNAL NASIONAL | Rabu, 21 Maret 2007

KEBUTUHAN gula Nasional pada 2007 diperkirakan sekitar 4,2 juta ton. Dari kebutuhan tersebut 2,66 juta dikonsumsi langsung dan 1,5 juta untuk industri makanan dan minuman. Dengan realisasi produksi tersebut diproyeksikan Indonesia baru mencapai swasembada gula pada 2009.

Pemerhati pergulaan Purwono mengatakan, peningkatan kebutuhan gula setiap tahun diperkirakan 50 ribu ton. Pada 2009 diproyeksikan konsumsi gula mencapai 2,76 juta ton. Untuk memenuhi kekurangan tersebut, pemerintah kemungkinan akan mengimpor gula dari negara tetangga.

Berdasarkan Roadmap Swasembada Gula pada 2006 hingga 2009, produksi gula diproyeksikan meningkat. Pada 2006 misalnya, produksi gula mencapai 2,43 juta ton. Selanjutnya pada 2007 diproyeksikan bertambah sebanyak 2,62 juta ton, pada 2008 meningkat menjadi 2,75 juta ton, dan pada 2009 sebanyak 2,85 juta ton.

Menurut dia, proyeksi tersebut nyaris menyamai prestasi produksi gula di Indonesia pada zaman Belanda, dengan luas areal sekitar 350 ribu hektare sementara gula yang diproduksi mencapai 2,9 juta ton. "Pada saat itu tebu ditanam di Jawa dengan sistem reynoso di lahan sawah dan jumlah pabrik gula masih utuh," katanya kepada Jurnal Nasional, Senin (19/3).

Dia menjelaskan, jika proyeksi produksi gula tersebut benar, maka pada tahun 2009 kebutuhan gula konsumsi akan dapat dipenuhi dari produksi gula tebu dalam negeri.

"Realisasi produksi gula dari tebu tahun 2005 sebesar 2,24 juta ton yang terdiri atas produksi di Jawa dan luar Jawa. Produksi pada 2006 mencapai 2,3 juta ton dengan proporsi hasil antara Jawa dan luar Jawa relatif tetap," katanya.

Purwono yang juga dosen pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor (IPB), menambahkan kondisi pertanaman saat ini masih jauh dari baik. Rendemen gula di Jawa, berkisar 6,5-8 persen dengan rata-rata 6,5 persen dan tebu 80 ton per hektar.

Namun tantangan mencapai swasembada gula tersebut masih terhalang kondisi pabrik gula di Pulau Jawa. "Jam berhenti pabrik karena faktor internal sekitar 10 persen dari total jam giling. Kinerja pabrik gula rendah," ujarnya.

Rendahnya efisiensi energi pabrik gula, karena keadaan boiler, perpipaan belum diperbaiki. "Tanpa perbaikan atau penggantian dan peningkatan kapasitas giling, kinerja pabrik tidak akan dapat ditingkatkan," katanya.

Dia menambahkan, kerja keras semua pihak harus dilakukan agar tujuan swasembada dapat dicapai. Perbaikan di sisi tanaman pun perlu dilakukan sesuai standar.