Sunday, March 15, 2009

SEMBAKO MURAH, MASUK AKAL?

Beras, gula, minyak goreng adalah tiga dari banyak kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Perubahan harga ketiga komoditi ini akan berpengaruh secara ekonomi dan psikologi, sehingga banyak pihak yang memanfaatkan isuenya sebagai komoditi politik.

Penghasil utama beras, gula dan minyak goreng adalah petani dengan skala yang sangat kecil. Luas kepemilikan lahan rata-rata hanya sekitar 0,3 ha. Saat ini dengan berbagai kebijakan petani padi dan tebu masih mendapat bantuan dari pemerintah. Bantuan atau subsidi ini diwujudkan dalam bentuk bunga ringan dan harga pupuk yang lebih murah. Sementara petani kelapa sawit tidak mendapat bantuan sebesar petani padi dan tebu.

Harga gabah dan beras ditetapkan oleh Pemerintah dengan Instruksi Presiden sedangkan harga gula ditetapkan SK Menteri Perdagangan. Untuk tahun 2008 harga gabah kering giling Rp 2.800 dan harga gula sebesar Rp 5.000 per kg. Dengan harga gabah tersebut petani hanya mendapat keuntungan sekitar Rp 5 juta per musim atau Rp. 10 juta per tahun per ha. Hal ini artinya untuk 0,3 ha petani hanya mendapat sekitar 3 juta per tahun. Jika petani menghasilkan tebu 80 ton dengan rendemen 7,5, pendapatan per ha sekitar Rp. 4 – 5 juta. Dari hitungan tersebut berarti harga dasar beras sekitar Rp 5.000 dan dengan marjin pemasaran 20% berarti harga eceran minimum Rp 6.000 per kg. Kalau gula harga eceran minimum dengan marjin pemasaran 20% adalah Rp 6.000 per kg. Minyak eceran goreng dengan harga CPO Rp 6.000 per kg (harga TBS Rp 900/kg) adalah Rp 7.000 per kg.

Dengan harga di atas, pendapatan petani padi, tebu, dan kelapa sawit masih sangat minim. Kalau harga ketiganya ditekan, yang langsung tertekan adalah harga tingkat petani yang berarti pendapatan petani juga berkurang. Keinginan menurunkan harga ketiga komoditi tersebut apakah sudah difikirkan dampaknya terhadap kesejahteraan petani padi, tebu, dan kelapa sawit? Mungkin yang harus dilakukan adalah meningkatkan daya beli masyarakat bukan harganya yang diturunkan. Jadi jika sembako murah yang digunakan sebagai isue kampanye, tepat nggak ya?

PEMBANGUNAN PABRIK GULA DI JAWA

Tahun 2014 dicanangkan sebagai tahun swasembada gula, berarti kebutuhan gula baik konsumsi maupun industri harus dicukupi oleh produksi dalam negeri (baca : berasal dari tebu). Beberapa tindakan harus dilakukan, yaitu (1) meningkatkan produktivitas di areal yang sudah ada, (2) meningkatkan kapasitas giling pabrik yang memiliki potensi bahan baku, (3) memperbaiki kinerja pabrik gula di Jawa agar proses berjalan lancar, dan (4) membangun pabrik gula baru.

Pembangunan pabrik gula baru di luar Jawa ternyata tidak mudah, sebab sulit mendapatkan areal dengan luas 20.000 ha (untuk kapasitas 8.000 TCD), memiliki agroklimat sesuai, dan tidak infrastruktur yang memadai. Sementara pembangunan pabrik gula di Jawa harus dilakukan dengan kajian yang sangat teliti dan hati-hati. Ketersediaan bahan baku menjadi titik kritis utama di Jawa. Saat ini saja sering terjadi konflik antar pabrik yang ada.

Dalam membuat kajian kelayakan di Jawa, tahapan utama adalah ketersediaan bahan baku. Jangan menghitung serapan oleh pabrik-pabrik yang ada dalam kondisi tidak normal. Asumsikan pabrik-pabrik tersebut beroperasi normal, barulah dihitung berapa bahan baku tersedia dan kapasitas yang layak. Perlu diingat, investasi pabrik gula adalah bisnis jangka panjang dengan nilai yang sangat besar.

PABRIK GULA MENGHASILKAN RAW SUGAR

Pabrik gula kristal putih (GKP) yang tidak memenuhi standar SNI (icumsa > 300) akan digolongkan penghasil raw sugar. Masalahnya bagaimana dengan pendapatan petani, sebab harga raw sugar lebih rendah dari GKP. Agar pendapatan petani tetap, maka rendemen raw sugar harus lebih tinggi dari GKP.

Sebagai contoh jika hasil tebu 80 ton dengan rendemen 7,5% berarti petani mendapat bagian gula 3,96 ton. Jika HPP gula tahun 2008 adalah Rp 5.000/kg, maka pendapatan petani Rp 19,8 juta. Dengan asumsi harga raw sugar Rp 3.500/kg, maka agar pendapatan petani tetap, bagian gula petani harus 5,66 ton. Untuk mendapatkan bagian ini berarti rendemen raw sugar harus 10,71%. Jika hal ini dapat dijamin, bagi petani apapun yang dihasilkan oleh PG tidak menjadi masalah. Pertanyaannya apakah PG pernah mencoba mengolah tebu menjadi raw sugar dan berapa rendemennya?