Tuesday, May 13, 2008

Pengembangan Sawit Tak Perlu Perluas Lahan

JURNAL NASIONAL | 26 Feb 2008


SAAT ini sudah ada aturan yang melarang dikonversinya hutan menjadi kebun dengan alasan apa pun. Karena dikhawatirkan, nantinya hutan kita menjadi sempit. Alasan lainnya adalah, kalau kebun kelapa sawit terus dikonversi, lahannya akan menjadi masalah. Jika bertemu dengan tanah masyarakat, dikhawatirkan terjadi perselisihan.

Meningkatkan produksi, sebenarnya tidak harus dengan memperluas lahan. Perusahaan swasta saja bisa memproduksi tinggi, dengan lahan yang tidak lebih luas daripada PTPN. Padahal PTPN memiliki kelas lahan yang lebih tinggi daripada yang dimiliki swasta. Lahan yang dimiliki PTPN adalah lahan pilihan yang sudah sejak lama dimiliki. Itu lahan kelas satu.

Lalu, kenapa produksinya lebih rendah daripada swasta? Karena swasta memang memiliki teknik budidaya yang lebih baik. Misalkan dengan dana yang dialokasikan untuk membeli pupuk, maka benar-benar untuk membeli pupuk, tidak akan diselewengkan.

Selain itu, swasta juga menggunakan bibit yang lebih unggul. Populasi per hektare mereka lebih tinggi. Misalkan PTPN hanya menanam 128 pohon per hektare, swasta sudah menanam 142 pohon per hektare. Di PTPN, biasanya terjadi distorsi dalam pemupukan, sehingga hasil panennya tidak sebesar swasta.

Mengenai harga jual, PTPN biasanya menjual kelapa sawit dengan harga yang tinggi dibandingkan dengan swasta. Ini karena harga pokok produksi PTPN tinggi, yang disebabkan oleh efisiensi yang rendah. Kalau itu semua bisa diperbaiki, tanpa penambahan lahan, produktivitas bisa ditingkatkan.

Untuk memperbaiki itu semua, perlu ada pengawasan yang ketat di PTPN, di samping juga dilakukan perbaikan. Dibutuhkan audit teknis. Apakah budidaya yang mereka lakukan itu benar atau tidak? Misalkan manajemen panen, pemupukan, dan pembibitan.

Ada guyonan yang sering saya pakai dengan orang-orang PTPN. Ada yang bilang, orang PTPN itu kalau memupuk terlalu jauh jaraknya. Saya artikan menjadi: tanamannya di kebun, tetapi pupuknya di pasar. Pemupukan ini harus diperhatikan.

Pengawasan panen juga harus ditingkatkan. Kalau dalam satu pohon jatuh lima brondolan dan tidak diambil, bayangkan, satu hektare saja sudah berapa brondolan yang tersia-siakan? Kalau di kebun swasta, satu pun tidak boleh disia-siakan. Bahkan karyawan yang menyia-nyiakan itu bisa dipecat.

Masalah bibit, memang PTPN kalah dengan bibit yang dipakai swasta. Tetapi PTPN sepertinya saat ini memang ada aturan tertentu untuk membeli bibit. Semua bibit harus dibeli dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Sepertinya mereka tidak boleh membeli bibit dari tempat lain.

Dari semua permasalahan ini, menurut saya yang harus dibereskan dulu adalah teknologi budidaya dan panen. Kalau mau tanam yang baru, semua harus diperbaiki. Mindset-nya jangan seperti dulu lagi. Tetapi semua ini sebenarnya bermuara pada sumber daya manusia (SDM). Apa pun yang kita mau bilang, kalau SDM tidak berubah, PTPN akan sulit maju.

Setelah itu, mereka harus efisiensi. Ketiga, mereka harus melakukan manajemen modern. Sebagai contoh, di kelapa sawit itu ada rasio antara karyawan dan luas kebun. Jadi kalau satu hektare kebun, ada berapa karyawan yang dipekerjakan? Yang saya lihat, di PTPN rasio karyawannya per hektare lebih tinggi daripada swasta.

Jadi PTPN jangan dulu memperluas lahan. Lahan yang ada harus dimaksimumkan dulu. PTPN V ini punya tanah yang bagus sekali di Riau dan Jambi, sementara orang lain, lahan gambut saja diperebutkan untuk ditanami.

Tuesday, March 11, 2008

SWASEMBADA KEDELAI: ULASAN RINGKAS

  • Belakangan ini harga kedelai melambung dari Rp. 3.500 per kg menjadi Rp. 7.500 per kg pada tingkat eceran.
  • Indonesia saat ini mengimpor kedelai dengan jumlah ± 1 juta ton. Produksi kedelai Indonesia untuk tahun 2007 berdasarkan ARM III adalah 598.029 ton sementara kebutuhan sekitar 1,6 juta ton (Departemen Pertanian, 2007).
  • Naiknya harga kedelai disebabkan harga kedelai dunia saat ini mencapai 539,68 yen per kg atau sekitar Rp. 5.400 per kg. Jika ditambah bea masuk 10% dan transport ke Indonesia, harga pokok penjualan kedelai impor sekitar Rp. 6.500 per kg. Jika marjin pedagang dihitung 10%, maka tidak heran jika harga eceran mencapai Rp. 7.500 per kg.
  • Kebijakan pemerintah menghapuskan bea masuk kedelai tidak akan berpengaruh banyak selama harga dunia tetap tinggi.
  • Mengapa produksi kedelai Indonesia rendah ? Jawabnya antara lain :
    1. Kedelai adalah tanaman C3 yang kesesuaian daerahnya adalah daerag sub tropis. Di daerah tropis kedelai akan mengalami fotorespirasi (respirasi akibat tingginya tingkat radiasi) sehingga penumpukan biomassa akan berkurang. Hal ini yang menyebabkan produktivitas kedelai di Indonesia tidak akan mampu menyamai produktivitas di sub tropis.
    2. Kelangkaan benih (baca : bukan kelangkaan varietas). Benih kedelai memiliki endosperm yang kandungan proteinnya tinggi (± 36%) sehingga mudah rusak jika disimpan pada suhu ruang biasa. Benih kedelai berbeda dengan benih padi dan jagung yang endospermnya dominan karbohidrat sehingga tahan disimpan lama.
    3. Harga yang kurang menarik. Di waktu lalu harga kedelai di tingkat petani hanya sekitar Rp. 3.000 per kg. Coba bandingkan dengan jagung, jika hasil kedelai per ha 1,3 ton maka hasil kotor hanya 3,9 juta. Hasil ini tidak akan mampu menutup biaya produksi. Sementara jagung dengan hasil 4 ton dengan harga Rp. 1.500 akan menghasilkan 6 juta per ha. Perlu diketahui biaya produksi jagung per ha sekitar 3,5 juta rupiah sedangkan kedelai mencapai 4,5 juta rupiah. Harga jagung saat ini mencapai Rp. 2.000 per kg sehingga hasil jagung akan semakin besar, yaitu sekitar Rp. 8 juta per ha.
    4. Resiko kegagalan kedelai lebih besar dibandingkan tanaman pangan lainnya, sehingga orang enggan menanam kedelai sebab sering mengalami kegagalan.
  • Target Pemerintah akan swasembada kedelai di tahun 2015 artinya dalam waktu 7 tahun dari sekarang (2008).
    1. Kekurangan 1 juta ton dengan produktivitas 1,3 ton akan setara dengan 750.000 hektar atau dengan produktivitas 1,5 ton akan setara dengan 650.000 ha luas panen. Jika angka ini ditargetkan selama 7 tahun berarti per tahun harus ada penambahan areal seluas 100.000 ha. Pada saatnya luas total akan mencapai 1,25 juta ha. Sebagai catatan, areal kedelai yang pernah dicapai sejak tahun 2000 sampai sekarang adalah 825.000 ha.
    2. Perluasan areal akan sangat sulit dilakukan sebab kedelai memerlukan persyaratan areal yang lebih sulit daripada jagung (baik dari segi tanah maupun iklim). Ingat : kedelai adalah tanaman golongan C3 !
    3. Untuk keperluan perluasan areal tanam berarti dibutuhkan benih tambahan per tahun sekitar 3.000 ton (100.000 ha x 30 kg). Masalah benih harus menjadi fokus yang penting jika ingin menambah areal kedelai.
  • Apakah petani akan tertarik menanam kedelai jika harganya diinginkan rendah ?
    1. Kita asumsikan satu areal terjadi pesaingan antara jagung dan kedelai.
    2. Total biaya produksi kedelai per ha adalah Rp. 4.282.500. Jika hasil yang didapatkan sebesar 1,3 ton, maka biaya produksi per kg adalah Rp. 3.300 per kg.
    3. Jika keuntungan petani dihitung dengan B/C 1,5 berarti hasil penjualan harus mencapai Rp. 6.423.750 yang berarti keuntungan petani sekitar Rp. 2.000.000 per ha permusim (3 bulan). Dengan nilai ini berarti petani baru menerima penghasilan sebesar UMR.
    4. Dengan nilai tersebut maka harga di tingkat petani sekitar Rp. 4.950 per kg. Dengan marjin penjualan sebesar 25% berarti eceran kedelai adalah Rp. 6.200 per kg. Jadi tidak dapat diharapkan lagi harga eceran kedelai sebesar Rp. 3.500 per kg jika diharapkan petani menanam kedelai.
    5. Berikut adalah rincian biaya produksi kedelai di luar sewa lahan


Apakah kedelai mampu bersaing dengan jagung ? Kita asumsikan hasil jagung adalah 4 ton pipilan kering. Dengan harga saat ini Rp. 2.000 per kg berarti petani mendapatkan hasil penjualan 8 juta rupiah. Dengan modal 3,5 juta rupiah berarti petani memperoleh keuntungan 4,5 juta rupiah per ha per satuan waktu yang sama dengan kedelai.
  • Lalu apakah yang harus dilakukan oleh Pemerintah agar petani kedelai mau menanam kedelai ?
    1. Menaikkan harga kedelai agar keuntungan bersaing dengan jagung ? Sangat sulit diterima konsumen !
    2. Menekan biaya produksi ? Mungkin dapat dilakukan dengan memberi subsidi beberapa komponen input (benih, pupuk dan pestisida)
    3. Meningkatkan produktivitas ? Harus dilakukan namun perlu banyak tahapan yang harus ditempuh ! Salah satunya untuk sementara harus diberikan pinjaman dengan bunga lunak dan subsidi yang nyata.

Tulisan ini mudah-mudahan menjadi bahan renungan kita bersama agar tidak terlalu menganggap mudah membuat suatu rencana. Ingat bahwa sistem produksi tanaman bukan hanya berbicara teknologi dan sumberdaya alam tetapi juga berbicara tentang petani. Sekali lagi petani !!!!

SISTEM DANA TALANGAN PADA GULA

DAPATKAH SISTEM DANA TALANGAN PADA GULA DITERAPKAN PADA HASIL GABAH PETANI DENGAN KONSEP HARGA POKOK PRODUKSI (HPP)

  • HPP dihitung dengan menggunakan dasar Biaya Pokok Produksi (BPP) ditambah dengan primium atau keuntungan minimum yang harus diperoleh petani. BPP merupakan besarnya nilai uang yang digunakan untuk memproduksi setiap 1 kg gula di tingkat petani. Dalam prakteknya BPP merupakan hasil bagi antara biaya produksi gula ditingkat petani dan produksi gula bagian petani (saat ini 66% dari hasil gula total)
  • BPP mempunyai dua komponen utama yaitu biaya dan produksi gula milik petani. Biaya merupakan sumberdaya yang digunakan petani untuk memproduksi gula, dimana sumberdaya tersebut dinilai dengan uang. Komponen biaya terdiri dari biaya garap (olah tanah sampai dengan pemeliharaan), bibit, pupuk, biaya tebang angkut, nilai lahan, bunga dan pungutan serta iuran yang terkait dengan usahatani tebu petani. Produksi gula petani adalah gula milik petani yang merupakan gula bagian petani yaitu hasil gula total dikalikan porsi bagi hasil bagian petani. Penerimaan tetes dalam hal ini merupakan komponen untuk mengkoreksi biaya petani
  • HPP digunakan untuk memberikan jaminan minimum penjualan gula petani jika akan dilakukan pemberian dana talangan atau sebagai harga terendah dalam lelang penjualan gula
  • Produksi gula hanya akan terjadi jika tebu digiling di pabrik, sehingga hasil gula petani tetap berada di pabrik. Kondisi ini menjamin keamanan pemberi dana talangan. Kondisi ini tdak terjadi pada gabah petani, sehingga tidak ada investor yang berani memberi dana talangan pada gabah.
  • Selisih antara dana talangan dengan hasil lelang dibagi antara petani dengan pemberi dana talangan (bisa 50% : 50% atau 60% : 40%) tergantung negosiasi antara petani dengan pemberi dana talangan.
  • Gula adalah salah satu bahan yang pasti dibeli masyarakat karena kebutuhan lebih besar dari produksi. Hal ini sama dengan beras, tetapi pola tataniaga beras lebih kompleks.
  • Luas tanaman tebu rakyat saat ini ± 250.000 ha sementara untuk padi mencapai 6 juta ha per musim atau ± 12 juta ha per tahun. Oleh sebab itu diperlukan lembaga yang sangat kuat, baik dari segi manajemen maupun finansial untuk melaksanakan pola pembelian gabah petani.
  • Mungkin dengan melibatkan koperasi petani padi seperti petani tebu (KPTR) ada peluang untuk mengendalikan masalah gabah. Koperasi inilah yang berhubungan dengan BULOG.
  • Gabah petani pada saat panen dibeli sesuai harga dasar oleh BULOG, jangan beras sebab produksi petani adalah gabah. Gabah kemudian disimpan oleh BULOG di gudang. Pada saat penjualan gabah, petani harus mendapat bagian dari selisih antara harga pokok dengan harga jual. Hal ini diharapkan akan menarik petani sebab jika gabahnya dijual ke tengkulak petani tidak akan mendapat bagian keuntungan tengkulak. Namun dalam pratiknya akan sangat sulit sebab diperlukan dana yang besar dan niat yang baik tanpa niat untuk mengambil keuntungan pribadi.
  • Pola beras murah harus pelan-pelan dihapuskan. Kekurangan beras tidak harus disikapi dengan panik, tetapi harus dijadikan peluang pengembangan komoditi lain.

BAGI HASIL DAN EFISIENSI

Pendahuluan

Sejak terjadinya perubahan pengelolaan tebu dari lahan sewa oleh pabrik gula menjadi tebu rakyat, telah terjadi berbagai perubahan pola pengusahaan dan pola kemitraan antara PG dengan petani. Dari berbagai pola kemitraan yang berkembang, secara umum pola yang dominan adalah pola tebu rakyat yang pengelolaannya oleh petani. Proses produksi gula seakan-akan menjadi terdisintegrasi, yaitu dari pengelolaan oleh pabrik gula (PG) mulai kegiatan usahatani sampai pengolahan gula, menjadi kegiatan usahatani dikelola oleh petani dan pengolahan oleh PG.

Disintegrasi kedua kegiatan ini menimbulkan masalah dalam transfer tebu karena usaha tani tebu dilakukan oleh petani kemudian tebu yang dihasilkan diolah oleh PG. Pada saat usahatani tebu dan pengolahan dilaksanakan PG, tebu dimiliki oleh PG dan diolah oleh PG sehingga tidak perlu ada transfer tebu. Transfer tebu menjadi masalah karena tebu yang ditransfer mengandung unsur kualitas dan kuantitas. Kualitas tebu perlu diukur dan ditetapkan untuk menghitung bagi hasil atau pendapatan petani dari tebu yang diserahkan ke PG. Hubungan antara petani dan PG adalah hubungan bagi hasil, yaitu dengan dasar 66% untuk petani dan 34% untuk PG. Bagi hasil tersebut didasarkan pada rendemen yang dicapai. Dengan porsi tersebut, semakin besar rendemen maka semakin besar pula gula yang diperoleh petani maupun PG dari setiap ton tebu. Pada prinsipnya, penentu besarnya rendemen adalah prestasi petani dan prestasi PG. Prestasi petani tercermin pada kualitas tebu, yaitu nilai yang menunjukkan jumlah gula potensial yang dapat diperah menjadi gula (recoverable sugar). Untuk saat ini perbedaan mutu tebu diberikan dengan modifikasi bagi hasil, yaitu kelebihan rendemen di atas 6 petani mendapat 70%. Prestasi PG merupakan efisiensi teknis yang ditunjukkan oleh besarnya overall recovery (OR), yaitu persentase gula yang dapat diperah dari gula yang ada pada tebu.

Teknik dan Masalah Penetapan Rendemen Tebu

Rendemen tebu ditetapkan bukan berdasarkan perhitungan hasil akhir gula dibagi jumlah tebu, namun berdasarkan perhitungan rendemen sementara (RS) dengan rumus:

RS= FR x NN NPP

FR= KNT x HPBtotal x PSHk x WR

  • RS adalah rendemen sementara yang besarnya didasarkan pada hasil perhitungan.
  • FR adalah faktor rendemen yang besarnya dipengaruhi oleh kadar nira dalam tebu dan efisiensi teknis pabrik.
  • NN NPP adalah nilai nira dari nira perahan pertama, yaitu ukuran kualitas nira yang diambil dari gilingan pertama, yang dihitung berdasarkan rumus:
NN NPP = Pol -0,4 (Brix-Pol)

Dalam penetapan rendemen, NN NPP diukur dengan mengambil contoh nira pada gilingan pertama, kemudian Pol dan Brix diukur untuk menghitung NN NPP berdasarkan rumus di atas. FR ditetapkan berdasarkan FR minimum.. Penggunaan rumus di atas bukan merupakan standar baku di negara-negara maju, namun hanya pada kondisi Indonesia. Cara ini mengandung kelemahan, yaitu tidak akurat untuk kapasitas besar, tidak memberi variasi terhadap KNT, kurang dipercaya petani, dan kurang dapat terawasi dengan baik.

Tabel 1. Komponen Rendemen dan Faktor yang Berpengaruh


Pada PG berkapasitas besar dan atau PG dengan meja tebu lebih dari satu, pengambilan contoh NPP tidak dapat dilakukan secara akurat karena NPP yang terambil merupakan campuran NPP dari dua meja atau lebih. Hal ini mengakibatkan hasil pengukuran rendemen tidak akurat karena tidak mencerminkan kualitas. Angka KNT bervariasi antar tebu, bergantung antara lain pada tingkat kesegaran tebu, varietas, umur, diameter batang, panjang ruas, dan teknologi budi daya yang dilaksanakan. Dengan tidak mengukur kualitas tebu yang tidak diukur sehingga hasil pengukuran tersebut tidak akurat, dapat over-estimate atau under-estimate.

Dengan kelemahan di atas, maka insentif yang memadai bagi petani untuk meningkatkan rendemen menjadi rendah. Di beberapa PG muncul pola perhitungan bagi hasil dengan rendemen kesepakatan, sehingga petani cenderung mananam tebu dengan mementingkan bobot tebu tanpa memperdulikan kualitas.. Bahkan program akselerasi yang dimulai tahun 2002 mengalami hambatan karena belum akuratnya cara pengukuran rendemen tebu milik petani. Petani merasa keberatan untuk membongkar tanamannya apabila hasil pengukuran rendemen masih sama antara tebu program bongkar ratoon dengan tebu lainnya.

Evaluasi Bagi Hasil

Proses bagi hasil diharapkan memberikan suatu porsi yang adil bag petani dan PG. Artinya dengan angka yang ada sekarang kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan dari usahanya. Dasar perhitungan petani adalah dari biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi gula per kg, sedangkan PG menghitung berdasarkan biaya proses per kg gula.

Pada saat mutu tebu jelek, biaya proses akan lebih tinggi daripada tebu yang baik. Hal ini disebabkan oleh tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Namun logikanya jika mutu tebu semakin baik biaya akan turun. Komponen biaya produksi di pabrik terbagi menjadi biaya tetap (fix cost) dan biaya tidak tetap (variable cost).

Biaya variabel untuk proses yang utama terdiri dari :
  • Bahan kimia pabrik
  • Bahan kimia laboratotium
  • Bahan bakar dan oli
  • Upah tenaga kerja
  • Pemeliharaan rutin
Biaya tetap yang utama :
  • Gaji karyawan tetap
  • Biaya lainnya

Jika kita bicara efisiensi, maka berdasarkan perolehan gula, harus dilakukan oleh dua faktor utama yaitu : mutu tebu dan efisiensi pabrik (Overall recovery). Tanggung jawab petani adalah pada NN NPP, yaitu menghasilkan tebu dengan mutu baik. Jika hal tersebut sudah dilakukan, maka tinggal bagaimana FR dapat diperbaiki. FR sendiri komponennya adalah : KNT, HPB total, PSHK, dan WR. Komponen ini sebagian besar ada dalam lingkup pekerjaan pabrik. Artinya pabrik harus berusaha untuk meningkatkan kinerjanya untuk meningkatkan efisiensi, sehingga biaya proses per kg gula dapat ditekan.

Dari segi biaya tetap, harus pula dilakukan efisiensi agar beban terhadap pabrik berkurang. Beban pabrik pada akhirnya akan berdampak pada beban petani, sehingga pabrik merasa dari gula bagiannya tidak mencukupi untuk operasi.

Semua yang diuraikan di atas bukan suatu yang mudah, sebab selama ini transparansi biaya oleh kurang. Berapa sebenarnya biaya olah per kg gula ? Apakah dengan semakin baiknya mutu tebu (trush dan brix) kebutuhan biaya olah masih sama ?

Berbicara tentang efisiensi pengolahan (WR) sangat tergantung kemampuan pabrik mengolah dan mutu bahan baku, karena WR berhubungan dengan rendemen efektif dengan rendemen pabrik. Persoalan baru akan muncul pada saat pabrik mengolah bahan baku selain tebu, yaitu raw sugar. Jika raw sugar yang diolah jelek maka efisiensi pengolahan jadi jelek yang akibatnya WR jelek. Jika WR turun maka FR turun, berarti rendemen juga turun. Jadi dengan mengolah raw sugar bersamaan dengan mengolah tebu, perlu suatu diskusi agar petani tidak dirugikan.

Saat ini prestasi petani yang mutu tebunya baik baru diberikan dengan mengubah bagi hasil di atas rendemen 6%. Nilai ini adalah nilai NPP karena brix dan pol meningkat. Prestasi dari pengolahan, yaitu nilai FR belum tampak, tebu yang baik dan jelek FR nya sama.

Penutup

Dari uraian di atas maka perlu dilakukan beberapa tahapan diskusi untuk melakukan perhitungan ulang dengan meningkatnya mutu tebu petani. Pabrik harus lebih transparansi tentang biaya pengolahan. Harus diingat pendapatan pabrik tergantung gula milik PG dan milik Petani.

Pabrik harus mulai melakukan efisiensi biaya terutama fix cost. Biaya non produksi harus dipisahkan sehingga tidak menjadi beban petani.

Evaluasi bagi hasil jika akan dilakukan harus berdasarkan pada perhitungan yang matang. Dua konsep bisa diajukan, yaitu :
  1. Dasar pembagian tetap 66%, tetapi insentif di atas rendemen 6 dinaikkan. Hal ini akan meningkatkan insentif bagi tebu yang baik
  2. Dasar pembagian naik dari 66% dan insentif bagi tebu di atas rendemen 6 juga naik. Konsep ini akan meningkatkan insentif bagi semua petani mulai dari tebu yang rendemen 6.
  3. Jika pabrik tidak mampu meningkatkan efisiensi, maka nilai ampas sebagai bahan bakar harus didiskusikan meskipun dalam ketentuannya pabrik memiliki hak penuh mengelola hasil samping pengolahan tebu.
Diskusi tentang bagi hasil tampaknya akan panjang dan sulit, oleh sebab itu diperlukan pendekatan dan persiapan yang baik dengan semua pihak yang terlibat.



ALUR BISNIS DI BIDANG PERKEBUNAN