Saturday, April 11, 2015

SWASEMBADA GULA NASIONAL MUNGKINKAN DAPAT DICAPAI ?


Dengan 62 pabrik gula berbasis tebu, produksi gula kristal putih (GKP) Indonesia tahun 2014 adalah 2.56 juta ton.  Produksi ini dicapai dari luas panen ± 470 ribu ha.  Luas ini hampir tidak bergerak selama 5 tahun terakhir.  Rendahnya produktivtas gula per hektare menjadi sebab utama tidak meningkatnya produksi GKP nasional.  Proyeksi ke depan dengan dilakukan perbaikan on farm dan off farm, produksi GKP diproyeksikan hanya akan menjadi sekitar 3.1 juta ton. Hadirnya 2 pabrik gula baru di Blora (PT GMM) dan Lamongan (PT KTM) mungkin hanya akan menyumbang sekitar 150 ribu ton, sehingga produksi dapat mencapai 3.25 juta ton.  Jika perbaikan on farm dan pabrik tidak dilakukan dengan serius mulai sekarang, tidak mustahil produksi akan tetap berada di bawah angka 3 juta ton.
Konsumsi gula total (GKP + GKR) saat ini lebih dari 5 juta ton, sehingga kekurangan gula terpaksa dicukupi dengan impor.  Mengandalkan produksi eksisting jelas sesuatu yang tidak akan mungkin untuk mencapai swasembada gula nasional.  Pembangunan pabrik gula baru dan pembangunan perkebunan tebu, terutama di luar pulau Jawa menjadi mutlak adanya.
Pertanyaan umum, mengapa sampai saat ini belum ada realisasi pabrik gula baru di luar pulau Jawa berjalan lamban ? Jawaban dari pertanyaan ini yang harus dicari dan harus diselesaikan.  Saya coba menyampaikan beberapa lokasi yang sudah dikaji dan diminati investor, termasuk mulai dengan aksi tetapi tidak mampu berkembang.  Analisis ini saya lakukan berdasarkan kondisi lokasi pada saat saya berkunjung ke lokasi tersebut.

No
Lokasi dan kondisi sampai saat ini
Kendala
1
Konawe Selatan (Sultra).  Terdapat 2 calon pabrik di lokasi ini, yaitu di Lamboya dan Tinanggea.  Lamboya investornya swasta, sedangkan Tinanggea PTPN XIV
1.    Status lahan sebagian masih masuk kawasan hutan
2.    Kondisi sosial masyarakat
3.    Masalah keuangan (untuk Tinanggea)
4.    Kebijakan Pemkab
2
Merauke (Papua).  Banyak investor yang sudah mencoba masuk, sebutlah antara lain Medco, Rajawali Group, Sampurna, Bakrie, Wilmar, Mayora, dsb.
1.    Status lahan masih status hutan
2.    Sosial budaya masyarakat
3.    Infrastruktur minim
4.    Varietas
5.    Serangan penyakit
3
Lampung. Investor swasta Sunga Budhi Group.  Pembangunan dimulai dengan unit rafinasi.  Memiliki HGU eks kelapa sawit dan nanas
1.    Belum memulai membangun unit sugar mill (gilingan)
2.    Unit rafinasi terpisah dengan unit gilingan yang secara teknis dan operasional lebih kompleks.
4
Dompu (NTB). Investor swasta yang saat ini yakin akan mulai giling akhir tahun 2015
1.    Baru memperoleh HGU sekitar 6,000 ha.  Areal lainnya masih berstatus HTI
2.    Kelas kesesuaian lahan
3.    Ketersediaan air untuk tanaman dan jaminan ketersediaan air untuk pabrik
4.    Potensi konflik dengan masyarakat
5
Muna (Sulawesi Tenggara).  Investor swasta dan mulai membangun kebun benih
1.    Kecukupan lahan untuk HGU
2.    Fasilitas pelabuhan belum memadai
3.    Infrastruktur jalan masih kurang baik
6
Sambas (Kalbar). Investor swasta.  Sudah dilakukan survai lahan
1.    Status lahan
2.    Kesesuaian lahan (sebagian gambut)
3.    Curah hujan terlalu tinggi
7
Madura (Jawa Timur). Investor PTPN X dan ada juga Swasta
1.    Sosial budaya masyarakat
2.    Penerimaan masyarakat terhadap pembangunan pabrik gula
8
Bener Meriah (NAD)
1.    Tinggi tempat tidak sesuai untuk tebu penghasil sukrosa
2.    Curah hujan tinggi (rendemen rendah)
9
Jambi
1.    Tinggi tempat tidak sesuai untuk tebu penghasil sukrosa
2.    Curah hujan tinggi (rendemen rendah)
10
Darma Seraya (Sumbar). Investor swasta
1.    Luas lahan kurang mencukupi
2.    Investor tidak memilki dana yang cukup

Informasi ini mungkin tidak semuanya akurat, tetapi bagi pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan dapat dijadikan masukan dalam menuntaskan masalah kelanjutan pembanguna pabrik gula dan perkebunan tebu di luar Jawa.
Tanpa campur tangan Pemerintah dengan kebijakan yang tepat, mustahil swasembada gula nasional dapat dicapai. 

Bogor, April 2015                                                                                                    



Monday, June 13, 2011

Penetapan Rendemen Tebu sebagai Titik Pangkal Kemitraan yang Adil

Variebel utama pola perhitungan bagi hasil antara petani tebu rakyat (PTR) dengan pabrik gula adalah rendemen. Sampai saat ini masalah perhitungan rendemen masih menjadi sumber konflik dalam kemitraan yang berlangsung. Petani masih mengganggap rendemen yang diperoleh tidak sesuai dengan potensi tanaman yang telah diusahakan selama satu tahun.

Kandungan gula yang kemudian diolah menjadi gula kristal atau hablur sangat ditentukan oleh pelaksanaan teknis budidaya sampai dengan tebang angkut ke pabrik gula. Selanjutnya tebu diolah di pabrik dan rendemen dihitung berdasarkan ratio antara hasil hablur dengan bobot tebu yang digiling. Hasil gula petani dipengaruhi oleh tingkat efisiensi pabrik gula. Alur dari kebun sampai hasil akhir dapat digambarkan sebagai berikut:

Seharusnya petani memperoleh rendemen dari tebu yang berada di emplasemen. Artinya rendemen harus diukur begitu tebu sampai di lokasi emplasemen dengan metode yang tepat dan secara individu atau kelompok. Pengukuran rendemen sebelum masuk pabrik dikenal dengan potensi rendemen yang dirumuskan sebagai hasil kali antara NNPP (nilai nira perahan pertama) dengan KNT (kadar nira tebu). Rendemen untuk dasar bagi hasil adalah hasil kali antara potensi rendemen dengan efisiensi pabrik. Agar petani mendapat haknya sesuai dengan potensi rendemennya, maka faktor efisiensi pabrik harus ditetapkan dengan angka normal.

Perhitungan rendemen sebelum tebu masuk pabrik dapat digunakan untuk dasar bagi hasil (SBH) pada sistem yang sekarang berjalan atau sistem belu putus (SBP) tebu yang telah direkomendasikan oleh Panja Gula Komisi VI DPR – RI. Dengan cara perhitungan rendemen ini petani tidak dirugikan jika pabrik mengalami kerusakan atau kinerjanya tidak efisien.

Thursday, March 31, 2011

Bahan kuliah: Pengolahan Tanah


Bahan kuliah selengkapnya bisa didownload di sini

Pembangunan Pabrik Gula Rajawali Group di Merauke

Indonesia saat ini sangat memerlukan peningkatan produksi gula untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Salah satu programnya adalah dengan membangun perkebunan tebu dan pabrik gula baru di luar Jawa. Beberapa hari ini di harian Kompas diberitakan persiapan Rajawali Group dalam mengembangkan tebu di Merauke dan direncanakan giling perdana tahun 2013 dengan produksi 160.000 ton gula. Ini berita yang menggembirakan bagi masyarakat Indonesia. Namun sebagai orang yang menekuni tebu, saya berfikir apakah rencana tersebut sudah sesuai dengan kondisi lapangan, jadwal tanam dan pembangunan pabrik ? Jika direncanakan tahun 2013 giling seluas 8.500 ha, berarti tahun 2012 dan 2011 harus ditanam areal tebu giling (KTG) seluas masing-masing 4.250 ha. Hal ini berarti sekarang harus ada kebun bibit sekunder (Kebun Bibit Datar) seluas ± 800 ha. Dari berita dinyatakan bahwa saat ini baru ditanam 40 ha yang berarti hanya akan menjadi kebun bibit seluas maksimum 300 ha. Pertanyaannya adalah (1) bagaimana mempercepat pengadaan bibit ?, (2) apakah status lahan dengan ijin penglepasan dari Menteri Kehutanan dapat diperoleh tahun 2011 ini ?, dan (3) kapan pembangunan pabrik akan dimulai ?. Pengalaman pembangunan pabrik gula milik PT PSMI di Lampung dan PT LPI di Sumatera Selatan memakan waktu sekitar 2 tahun. Apakah kondisi Merauke sama dengan Sumatera ? Saya yakin para perencana di Rajawali Group sudah menyusun rencana dengan baik sehingga yakin jadwal giling perdana dapat dicapai. Semoga …