Monday, May 25, 2009
ANALISI DATA SURVEI: UNTUK MAHASISWA MAGANG
Data yang diperoleh selama program magang merupakan pelengkap laporan magang mahasiswa. Namun seringkali mahasiswa masih belum mengerti dengan metode apa data tersebut bisa diolah. Untuk melihat beberapa contoh metode yang biasa digunakan bisa didownload di sini.
Sunday, March 15, 2009
SEMBAKO MURAH, MASUK AKAL?
Beras, gula, minyak goreng adalah tiga dari banyak kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Perubahan harga ketiga komoditi ini akan berpengaruh secara ekonomi dan psikologi, sehingga banyak pihak yang memanfaatkan isuenya sebagai komoditi politik.
Penghasil utama beras, gula dan minyak goreng adalah petani dengan skala yang sangat kecil. Luas kepemilikan lahan rata-rata hanya sekitar 0,3 ha. Saat ini dengan berbagai kebijakan petani padi dan tebu masih mendapat bantuan dari pemerintah. Bantuan atau subsidi ini diwujudkan dalam bentuk bunga ringan dan harga pupuk yang lebih murah. Sementara petani kelapa sawit tidak mendapat bantuan sebesar petani padi dan tebu.
Harga gabah dan beras ditetapkan oleh Pemerintah dengan Instruksi Presiden sedangkan harga gula ditetapkan SK Menteri Perdagangan. Untuk tahun 2008 harga gabah kering giling Rp 2.800 dan harga gula sebesar Rp 5.000 per kg. Dengan harga gabah tersebut petani hanya mendapat keuntungan sekitar Rp 5 juta per musim atau Rp. 10 juta per tahun per ha. Hal ini artinya untuk 0,3 ha petani hanya mendapat sekitar 3 juta per tahun. Jika petani menghasilkan tebu 80 ton dengan rendemen 7,5, pendapatan per ha sekitar Rp. 4 – 5 juta. Dari hitungan tersebut berarti harga dasar beras sekitar Rp 5.000 dan dengan marjin pemasaran 20% berarti harga eceran minimum Rp 6.000 per kg. Kalau gula harga eceran minimum dengan marjin pemasaran 20% adalah Rp 6.000 per kg. Minyak eceran goreng dengan harga CPO Rp 6.000 per kg (harga TBS Rp 900/kg) adalah Rp 7.000 per kg.
Dengan harga di atas, pendapatan petani padi, tebu, dan kelapa sawit masih sangat minim. Kalau harga ketiganya ditekan, yang langsung tertekan adalah harga tingkat petani yang berarti pendapatan petani juga berkurang. Keinginan menurunkan harga ketiga komoditi tersebut apakah sudah difikirkan dampaknya terhadap kesejahteraan petani padi, tebu, dan kelapa sawit? Mungkin yang harus dilakukan adalah meningkatkan daya beli masyarakat bukan harganya yang diturunkan. Jadi jika sembako murah yang digunakan sebagai isue kampanye, tepat nggak ya?
Penghasil utama beras, gula dan minyak goreng adalah petani dengan skala yang sangat kecil. Luas kepemilikan lahan rata-rata hanya sekitar 0,3 ha. Saat ini dengan berbagai kebijakan petani padi dan tebu masih mendapat bantuan dari pemerintah. Bantuan atau subsidi ini diwujudkan dalam bentuk bunga ringan dan harga pupuk yang lebih murah. Sementara petani kelapa sawit tidak mendapat bantuan sebesar petani padi dan tebu.
Harga gabah dan beras ditetapkan oleh Pemerintah dengan Instruksi Presiden sedangkan harga gula ditetapkan SK Menteri Perdagangan. Untuk tahun 2008 harga gabah kering giling Rp 2.800 dan harga gula sebesar Rp 5.000 per kg. Dengan harga gabah tersebut petani hanya mendapat keuntungan sekitar Rp 5 juta per musim atau Rp. 10 juta per tahun per ha. Hal ini artinya untuk 0,3 ha petani hanya mendapat sekitar 3 juta per tahun. Jika petani menghasilkan tebu 80 ton dengan rendemen 7,5, pendapatan per ha sekitar Rp. 4 – 5 juta. Dari hitungan tersebut berarti harga dasar beras sekitar Rp 5.000 dan dengan marjin pemasaran 20% berarti harga eceran minimum Rp 6.000 per kg. Kalau gula harga eceran minimum dengan marjin pemasaran 20% adalah Rp 6.000 per kg. Minyak eceran goreng dengan harga CPO Rp 6.000 per kg (harga TBS Rp 900/kg) adalah Rp 7.000 per kg.
Dengan harga di atas, pendapatan petani padi, tebu, dan kelapa sawit masih sangat minim. Kalau harga ketiganya ditekan, yang langsung tertekan adalah harga tingkat petani yang berarti pendapatan petani juga berkurang. Keinginan menurunkan harga ketiga komoditi tersebut apakah sudah difikirkan dampaknya terhadap kesejahteraan petani padi, tebu, dan kelapa sawit? Mungkin yang harus dilakukan adalah meningkatkan daya beli masyarakat bukan harganya yang diturunkan. Jadi jika sembako murah yang digunakan sebagai isue kampanye, tepat nggak ya?
PEMBANGUNAN PABRIK GULA DI JAWA
Tahun 2014 dicanangkan sebagai tahun swasembada gula, berarti kebutuhan gula baik konsumsi maupun industri harus dicukupi oleh produksi dalam negeri (baca : berasal dari tebu). Beberapa tindakan harus dilakukan, yaitu (1) meningkatkan produktivitas di areal yang sudah ada, (2) meningkatkan kapasitas giling pabrik yang memiliki potensi bahan baku, (3) memperbaiki kinerja pabrik gula di Jawa agar proses berjalan lancar, dan (4) membangun pabrik gula baru.
Pembangunan pabrik gula baru di luar Jawa ternyata tidak mudah, sebab sulit mendapatkan areal dengan luas 20.000 ha (untuk kapasitas 8.000 TCD), memiliki agroklimat sesuai, dan tidak infrastruktur yang memadai. Sementara pembangunan pabrik gula di Jawa harus dilakukan dengan kajian yang sangat teliti dan hati-hati. Ketersediaan bahan baku menjadi titik kritis utama di Jawa. Saat ini saja sering terjadi konflik antar pabrik yang ada.
Dalam membuat kajian kelayakan di Jawa, tahapan utama adalah ketersediaan bahan baku. Jangan menghitung serapan oleh pabrik-pabrik yang ada dalam kondisi tidak normal. Asumsikan pabrik-pabrik tersebut beroperasi normal, barulah dihitung berapa bahan baku tersedia dan kapasitas yang layak. Perlu diingat, investasi pabrik gula adalah bisnis jangka panjang dengan nilai yang sangat besar.
Pembangunan pabrik gula baru di luar Jawa ternyata tidak mudah, sebab sulit mendapatkan areal dengan luas 20.000 ha (untuk kapasitas 8.000 TCD), memiliki agroklimat sesuai, dan tidak infrastruktur yang memadai. Sementara pembangunan pabrik gula di Jawa harus dilakukan dengan kajian yang sangat teliti dan hati-hati. Ketersediaan bahan baku menjadi titik kritis utama di Jawa. Saat ini saja sering terjadi konflik antar pabrik yang ada.
Dalam membuat kajian kelayakan di Jawa, tahapan utama adalah ketersediaan bahan baku. Jangan menghitung serapan oleh pabrik-pabrik yang ada dalam kondisi tidak normal. Asumsikan pabrik-pabrik tersebut beroperasi normal, barulah dihitung berapa bahan baku tersedia dan kapasitas yang layak. Perlu diingat, investasi pabrik gula adalah bisnis jangka panjang dengan nilai yang sangat besar.
PABRIK GULA MENGHASILKAN RAW SUGAR
Pabrik gula kristal putih (GKP) yang tidak memenuhi standar SNI (icumsa > 300) akan digolongkan penghasil raw sugar. Masalahnya bagaimana dengan pendapatan petani, sebab harga raw sugar lebih rendah dari GKP. Agar pendapatan petani tetap, maka rendemen raw sugar harus lebih tinggi dari GKP.
Sebagai contoh jika hasil tebu 80 ton dengan rendemen 7,5% berarti petani mendapat bagian gula 3,96 ton. Jika HPP gula tahun 2008 adalah Rp 5.000/kg, maka pendapatan petani Rp 19,8 juta. Dengan asumsi harga raw sugar Rp 3.500/kg, maka agar pendapatan petani tetap, bagian gula petani harus 5,66 ton. Untuk mendapatkan bagian ini berarti rendemen raw sugar harus 10,71%. Jika hal ini dapat dijamin, bagi petani apapun yang dihasilkan oleh PG tidak menjadi masalah. Pertanyaannya apakah PG pernah mencoba mengolah tebu menjadi raw sugar dan berapa rendemennya?
Sebagai contoh jika hasil tebu 80 ton dengan rendemen 7,5% berarti petani mendapat bagian gula 3,96 ton. Jika HPP gula tahun 2008 adalah Rp 5.000/kg, maka pendapatan petani Rp 19,8 juta. Dengan asumsi harga raw sugar Rp 3.500/kg, maka agar pendapatan petani tetap, bagian gula petani harus 5,66 ton. Untuk mendapatkan bagian ini berarti rendemen raw sugar harus 10,71%. Jika hal ini dapat dijamin, bagi petani apapun yang dihasilkan oleh PG tidak menjadi masalah. Pertanyaannya apakah PG pernah mencoba mengolah tebu menjadi raw sugar dan berapa rendemennya?
Wednesday, January 28, 2009
SISTEM DAN MEKANISME PENDATAAN PRODUKSI PADI
Bulan Februari tahun 2009 Pemerintah Indonesia merencanakan untuk mengekspor besar sejumlah 1 juta ton. Sesuai dengan kebijakan yang dibuat sebelumnya, ekspor baru akan dilakukan jika surplus beras dalam negeri mencapai 5 juta ton. Artinya pada tahun 2009 Indonesia swasembada beras dengan produksi sekitar 63 juta ton gabah kering giling. Produksi ini akan diperoleh dengan luas lahan 12 juta ha dan produktivitas minimum 5 ton GKG per ha.
Keberhasilan ini menimbulkan rasa bangga sebagai bangsa yang mampu mencukupi kebutuhan beras sendiri. Namun perlu dicermati bahwa semua kegiatan dilakukan berdasarkan data produksi dan konsumsi. Produksi dihitung dengan mengalikan luas panen dengan produktivitas per ha. Patut dikaji lebih teliti dan mendalam, kapan data luas sawah di-update dan bagaimana data produktivitas padi diukur di lapangan.
Artikel selengkapnya bisa didownload di sini
Keberhasilan ini menimbulkan rasa bangga sebagai bangsa yang mampu mencukupi kebutuhan beras sendiri. Namun perlu dicermati bahwa semua kegiatan dilakukan berdasarkan data produksi dan konsumsi. Produksi dihitung dengan mengalikan luas panen dengan produktivitas per ha. Patut dikaji lebih teliti dan mendalam, kapan data luas sawah di-update dan bagaimana data produktivitas padi diukur di lapangan.
Artikel selengkapnya bisa didownload di sini
Monday, January 26, 2009
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA POTENSIAL DI SEKTOR PERKEBUNAN DAN PERTANIAN: Resiko, Peluang dan Tantangan
Agribisnis adalah suatu usaha pengelolaan sumberdaya hayati yang berbasis sumberdaya alam, terutama lahan. Dalam krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia sebagai dampak krisis global, ternyata agribisnis mampu menyokong tetap tegaknya perekonomian nasional. Dalam konteks makro, gagasan untuk menjadikan agribisnis sebagai andalan atau titik berat pembangunan bukan halk yang baru. Namun dalam konteks sektoral pembangunan pertanian lebih terfokus pada sektor on farm, bukan pada pengembangan sistem.
Sektor pertanian, terutama perkebunan sampai saat ini merupakan subsektor yang penghasil devisa besar setelah migas. Neraca perdagangan subsektor perkebunan menunjukkan nilai yang masih positif. Di masa mendatang ekspor produk perkebunan harus ditingkatkan bukan dalam bentuk produk primer. Keadaan ini menunjukkan peluang investasi yang cukup besar pada beberapa komoditi perkebunan. Kelangkaan minyak bumi merupakan peluang penting pengembangan komoditi yang selama ini digantikan oleh produk minyak bumi (karet alam) dan produk yang mampu diubah menjadi bahan bakar (CPO).
Semakin langkanya lahan sebagai basis usaha perkebunan dan kurang terjaminnya aspek legal dari lahan tersebut menjadi kendala utama pengembangan subsektor perkebunan. Issue lingkungan menjadi topik yang sangat penting bagi pengembangan perkebunan. Kasus ilegal kopi di Lampung dan areal kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan lindung di Riau akan menjadi sorotan negatif terhadap pengembangan komoditi perkebunan di Indonesia. Selain itu aspek sosial masyarakat saat ini sering menjadi pangkal konflik dengan investor atau perusahaan pengembang.
Pengembangan perkebunan di masa mendatang harus dilakukan dengan sangat memperhatikan semua aspek kalayakan secara komprehensif (legalitas kawasan, pasar, teknologi, SDM, finansial, dan kepastian hukum). Bentuk kemitraan yang dibangun harus mampu menghindarkan peluang konflik selama usaha berjalan. Ketergantungan pembangunan sektor pertanian dan perkebunan sepenuhnya kepada investor besar harus dihindari dengan cara meningkatkan parstisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini mengingat usaha perkebunan adalah usaha jangka panjang dengan investasi yang besar dan dengan resiko yang besar.
Sektor pertanian, terutama perkebunan sampai saat ini merupakan subsektor yang penghasil devisa besar setelah migas. Neraca perdagangan subsektor perkebunan menunjukkan nilai yang masih positif. Di masa mendatang ekspor produk perkebunan harus ditingkatkan bukan dalam bentuk produk primer. Keadaan ini menunjukkan peluang investasi yang cukup besar pada beberapa komoditi perkebunan. Kelangkaan minyak bumi merupakan peluang penting pengembangan komoditi yang selama ini digantikan oleh produk minyak bumi (karet alam) dan produk yang mampu diubah menjadi bahan bakar (CPO).
Semakin langkanya lahan sebagai basis usaha perkebunan dan kurang terjaminnya aspek legal dari lahan tersebut menjadi kendala utama pengembangan subsektor perkebunan. Issue lingkungan menjadi topik yang sangat penting bagi pengembangan perkebunan. Kasus ilegal kopi di Lampung dan areal kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan lindung di Riau akan menjadi sorotan negatif terhadap pengembangan komoditi perkebunan di Indonesia. Selain itu aspek sosial masyarakat saat ini sering menjadi pangkal konflik dengan investor atau perusahaan pengembang.
Pengembangan perkebunan di masa mendatang harus dilakukan dengan sangat memperhatikan semua aspek kalayakan secara komprehensif (legalitas kawasan, pasar, teknologi, SDM, finansial, dan kepastian hukum). Bentuk kemitraan yang dibangun harus mampu menghindarkan peluang konflik selama usaha berjalan. Ketergantungan pembangunan sektor pertanian dan perkebunan sepenuhnya kepada investor besar harus dihindari dengan cara meningkatkan parstisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini mengingat usaha perkebunan adalah usaha jangka panjang dengan investasi yang besar dan dengan resiko yang besar.
NERACA GULA DALAM NEGERI
Belum hilang dari ingatan bagaimana gonjang-ganjing harga gula petani di tahun 2008 yang anjlok di bawah HPP. Apakah di tahun 2009 harga gula menjadi lebih baik atau kasus 2008 terulang kembali?
Proyeksi awal produksi GKP (gula kristal putih, adalah gula yang diolah dari tebu) adalah 2,85 juta ton. Sementara itu sisa gula GKP masih sekita 1,8 juta ton). Jika asumsi konsumsi langsung adalah 225 ribu ton/bulan atau sekitar 2,7 juta ton, maka impor GKP tetap tidak perlu.
Bagaimana dengan GKR (gula kristal rafinasi, adalah gula yang dihasilkan pabrik rafinasi dengan bahan baku raw sugar)? Jika kebutuhan untuk industri makanan dan minuman 1,8 juta ton maka kondisi GKR harus dihitung dengan cermat agar tidak tumpah ke pasar non mamin. Dengan ijin GKR kualits khusus sekitar 280 ribu ton, maka kebutuhan produksi GKR dalam negeri sekitar 1,5 juta ton. Angka inilah yang harus dijadikan patokan ijin impor raw sugar.
Proyeksi awal produksi GKP (gula kristal putih, adalah gula yang diolah dari tebu) adalah 2,85 juta ton. Sementara itu sisa gula GKP masih sekita 1,8 juta ton). Jika asumsi konsumsi langsung adalah 225 ribu ton/bulan atau sekitar 2,7 juta ton, maka impor GKP tetap tidak perlu.
Bagaimana dengan GKR (gula kristal rafinasi, adalah gula yang dihasilkan pabrik rafinasi dengan bahan baku raw sugar)? Jika kebutuhan untuk industri makanan dan minuman 1,8 juta ton maka kondisi GKR harus dihitung dengan cermat agar tidak tumpah ke pasar non mamin. Dengan ijin GKR kualits khusus sekitar 280 ribu ton, maka kebutuhan produksi GKR dalam negeri sekitar 1,5 juta ton. Angka inilah yang harus dijadikan patokan ijin impor raw sugar.
Subscribe to:
Posts (Atom)