Pendahuluan
Sejak terjadinya perubahan pengelolaan tebu dari lahan sewa oleh pabrik gula menjadi tebu rakyat, telah terjadi berbagai perubahan pola pengusahaan dan pola kemitraan antara PG dengan petani. Dari berbagai pola kemitraan yang berkembang, secara umum pola yang dominan adalah pola tebu rakyat yang pengelolaannya oleh petani. Proses produksi gula seakan-akan menjadi terdisintegrasi, yaitu dari pengelolaan oleh pabrik gula (PG) mulai kegiatan usahatani sampai pengolahan gula, menjadi kegiatan usahatani dikelola oleh petani dan pengolahan oleh PG.
Disintegrasi kedua kegiatan ini menimbulkan masalah dalam transfer tebu karena usaha tani tebu dilakukan oleh petani kemudian tebu yang dihasilkan diolah oleh PG. Pada saat usahatani tebu dan pengolahan dilaksanakan PG, tebu dimiliki oleh PG dan diolah oleh PG sehingga tidak perlu ada transfer tebu. Transfer tebu menjadi masalah karena tebu yang ditransfer mengandung unsur kualitas dan kuantitas. Kualitas tebu perlu diukur dan ditetapkan untuk menghitung bagi hasil atau pendapatan petani dari tebu yang diserahkan ke PG. Hubungan antara petani dan PG adalah hubungan bagi hasil, yaitu dengan dasar 66% untuk petani dan 34% untuk PG. Bagi hasil tersebut didasarkan pada rendemen yang dicapai. Dengan porsi tersebut, semakin besar rendemen maka semakin besar pula gula yang diperoleh petani maupun PG dari setiap ton tebu. Pada prinsipnya, penentu besarnya rendemen adalah prestasi petani dan prestasi PG. Prestasi petani tercermin pada kualitas tebu, yaitu nilai yang menunjukkan jumlah gula potensial yang dapat diperah menjadi gula (recoverable sugar). Untuk saat ini perbedaan mutu tebu diberikan dengan modifikasi bagi hasil, yaitu kelebihan rendemen di atas 6 petani mendapat 70%. Prestasi PG merupakan efisiensi teknis yang ditunjukkan oleh besarnya overall recovery (OR), yaitu persentase gula yang dapat diperah dari gula yang ada pada tebu.
Teknik dan Masalah Penetapan Rendemen Tebu
Rendemen tebu ditetapkan bukan berdasarkan perhitungan hasil akhir gula dibagi jumlah tebu, namun berdasarkan perhitungan rendemen sementara (RS) dengan rumus:
RS= FR x NN NPP
FR= KNT x HPBtotal x PSHk x WR
- RS adalah rendemen sementara yang besarnya didasarkan pada hasil perhitungan.
- FR adalah faktor rendemen yang besarnya dipengaruhi oleh kadar nira dalam tebu dan efisiensi teknis pabrik.
- NN NPP adalah nilai nira dari nira perahan pertama, yaitu ukuran kualitas nira yang diambil dari gilingan pertama, yang dihitung berdasarkan rumus:
Dengan kelemahan di atas, maka insentif yang memadai bagi petani untuk meningkatkan rendemen menjadi rendah. Di beberapa PG muncul pola perhitungan bagi hasil dengan rendemen kesepakatan, sehingga petani cenderung mananam tebu dengan mementingkan bobot tebu tanpa memperdulikan kualitas.. Bahkan program akselerasi yang dimulai tahun 2002 mengalami hambatan karena belum akuratnya cara pengukuran rendemen tebu milik petani. Petani merasa keberatan untuk membongkar tanamannya apabila hasil pengukuran rendemen masih sama antara tebu program bongkar ratoon dengan tebu lainnya.
Proses bagi hasil diharapkan memberikan suatu porsi yang adil bag petani dan PG. Artinya dengan angka yang ada sekarang kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan dari usahanya. Dasar perhitungan petani adalah dari biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi gula per kg, sedangkan PG menghitung berdasarkan biaya proses per kg gula.
- Bahan kimia pabrik
- Bahan kimia laboratotium
- Bahan bakar dan oli
- Upah tenaga kerja
- Pemeliharaan rutin
- Gaji karyawan tetap
- Biaya lainnya
Jika kita bicara efisiensi, maka berdasarkan perolehan gula, harus dilakukan oleh dua faktor utama yaitu : mutu tebu dan efisiensi pabrik (Overall recovery). Tanggung jawab petani adalah pada NN NPP, yaitu menghasilkan tebu dengan mutu baik. Jika hal tersebut sudah dilakukan, maka tinggal bagaimana FR dapat diperbaiki. FR sendiri komponennya adalah : KNT, HPB total, PSHK, dan WR. Komponen ini sebagian besar ada dalam lingkup pekerjaan pabrik. Artinya pabrik harus berusaha untuk meningkatkan kinerjanya untuk meningkatkan efisiensi, sehingga biaya proses per kg gula dapat ditekan.
Dari segi biaya tetap, harus pula dilakukan efisiensi agar beban terhadap pabrik berkurang. Beban pabrik pada akhirnya akan berdampak pada beban petani, sehingga pabrik merasa dari gula bagiannya tidak mencukupi untuk operasi.
Semua yang diuraikan di atas bukan suatu yang mudah, sebab selama ini transparansi biaya oleh kurang. Berapa sebenarnya biaya olah per kg gula ? Apakah dengan semakin baiknya mutu tebu (trush dan brix) kebutuhan biaya olah masih sama ?
Berbicara tentang efisiensi pengolahan (WR) sangat tergantung kemampuan pabrik mengolah dan mutu bahan baku, karena WR berhubungan dengan rendemen efektif dengan rendemen pabrik. Persoalan baru akan muncul pada saat pabrik mengolah bahan baku selain tebu, yaitu raw sugar. Jika raw sugar yang diolah jelek maka efisiensi pengolahan jadi jelek yang akibatnya WR jelek. Jika WR turun maka FR turun, berarti rendemen juga turun. Jadi dengan mengolah raw sugar bersamaan dengan mengolah tebu, perlu suatu diskusi agar petani tidak dirugikan.
Saat ini prestasi petani yang mutu tebunya baik baru diberikan dengan mengubah bagi hasil di atas rendemen 6%. Nilai ini adalah nilai NPP karena brix dan pol meningkat. Prestasi dari pengolahan, yaitu nilai FR belum tampak, tebu yang baik dan jelek FR nya sama.
Dari uraian di atas maka perlu dilakukan beberapa tahapan diskusi untuk melakukan perhitungan ulang dengan meningkatnya mutu tebu petani. Pabrik harus lebih transparansi tentang biaya pengolahan. Harus diingat pendapatan pabrik tergantung gula milik PG dan milik Petani.
Pabrik harus mulai melakukan efisiensi biaya terutama fix cost. Biaya non produksi harus dipisahkan sehingga tidak menjadi beban petani.
- Dasar pembagian tetap 66%, tetapi insentif di atas rendemen 6 dinaikkan. Hal ini akan meningkatkan insentif bagi tebu yang baik
- Dasar pembagian naik dari 66% dan insentif bagi tebu di atas rendemen 6 juga naik. Konsep ini akan meningkatkan insentif bagi semua petani mulai dari tebu yang rendemen 6.
- Jika pabrik tidak mampu meningkatkan efisiensi, maka nilai ampas sebagai bahan bakar harus didiskusikan meskipun dalam ketentuannya pabrik memiliki hak penuh mengelola hasil samping pengolahan tebu.
No comments:
Post a Comment