Variebel utama pola perhitungan bagi hasil antara petani tebu rakyat (PTR) dengan pabrik gula adalah rendemen. Sampai saat ini masalah perhitungan rendemen masih menjadi sumber konflik dalam kemitraan yang berlangsung. Petani masih mengganggap rendemen yang diperoleh tidak sesuai dengan potensi tanaman yang telah diusahakan selama satu tahun.
Kandungan gula yang kemudian diolah menjadi gula kristal atau hablur sangat ditentukan oleh pelaksanaan teknis budidaya sampai dengan tebang angkut ke pabrik gula. Selanjutnya tebu diolah di pabrik dan rendemen dihitung berdasarkan ratio antara hasil hablur dengan bobot tebu yang digiling. Hasil gula petani dipengaruhi oleh tingkat efisiensi pabrik gula. Alur dari kebun sampai hasil akhir dapat digambarkan sebagai berikut:
Seharusnya petani memperoleh rendemen dari tebu yang berada di emplasemen. Artinya rendemen harus diukur begitu tebu sampai di lokasi emplasemen dengan metode yang tepat dan secara individu atau kelompok. Pengukuran rendemen sebelum masuk pabrik dikenal dengan potensi rendemen yang dirumuskan sebagai hasil kali antara NNPP (nilai nira perahan pertama) dengan KNT (kadar nira tebu). Rendemen untuk dasar bagi hasil adalah hasil kali antara potensi rendemen dengan efisiensi pabrik. Agar petani mendapat haknya sesuai dengan potensi rendemennya, maka faktor efisiensi pabrik harus ditetapkan dengan angka normal.
Perhitungan rendemen sebelum tebu masuk pabrik dapat digunakan untuk dasar bagi hasil (SBH) pada sistem yang sekarang berjalan atau sistem belu putus (SBP) tebu yang telah direkomendasikan oleh Panja Gula Komisi VI DPR – RI. Dengan cara perhitungan rendemen ini petani tidak dirugikan jika pabrik mengalami kerusakan atau kinerjanya tidak efisien.
2 comments:
Bapak tulisan bpk sangat menarik dan berguna , mohon izin kami pelajari
Menarik pak. Tapi ada satu pertanyaan, yg dimaksud efesiensi pabrik yg harus normal itu bagaimana ya pak? Apakah harus tetap atau seperti apa? Terima kasih
Post a Comment