Dengan 62 pabrik gula berbasis tebu, produksi gula kristal putih (GKP)
Indonesia tahun 2014 adalah 2.56 juta ton.
Produksi ini dicapai dari luas panen ± 470 ribu ha. Luas ini hampir tidak bergerak selama 5 tahun
terakhir. Rendahnya produktivtas gula
per hektare menjadi sebab utama tidak meningkatnya produksi GKP nasional. Proyeksi ke depan dengan dilakukan perbaikan on farm dan off farm, produksi GKP diproyeksikan hanya akan menjadi sekitar 3.1
juta ton. Hadirnya 2 pabrik gula baru di Blora (PT GMM) dan Lamongan (PT KTM)
mungkin hanya akan menyumbang sekitar 150 ribu ton, sehingga produksi dapat
mencapai 3.25 juta ton. Jika perbaikan
on farm dan pabrik tidak dilakukan dengan serius mulai sekarang, tidak mustahil
produksi akan tetap berada di bawah angka 3 juta ton.
Konsumsi gula total (GKP + GKR) saat ini lebih dari 5 juta ton, sehingga
kekurangan gula terpaksa dicukupi dengan impor.
Mengandalkan produksi eksisting jelas sesuatu yang tidak akan mungkin
untuk mencapai swasembada gula nasional.
Pembangunan pabrik gula baru dan pembangunan perkebunan tebu, terutama
di luar pulau Jawa menjadi mutlak adanya.
Pertanyaan umum, mengapa sampai saat ini belum ada realisasi pabrik gula
baru di luar pulau Jawa berjalan lamban ? Jawaban dari pertanyaan ini yang
harus dicari dan harus diselesaikan.
Saya coba menyampaikan beberapa lokasi yang sudah dikaji dan diminati
investor, termasuk mulai dengan aksi tetapi tidak mampu berkembang. Analisis ini saya lakukan berdasarkan kondisi
lokasi pada saat saya berkunjung ke lokasi tersebut.
No
|
Lokasi dan kondisi sampai saat ini
|
Kendala
|
1
|
Konawe Selatan (Sultra). Terdapat
2 calon pabrik di lokasi ini, yaitu di Lamboya dan Tinanggea. Lamboya investornya swasta, sedangkan
Tinanggea PTPN XIV
|
1.
Status
lahan sebagian masih masuk kawasan hutan
2.
Kondisi
sosial masyarakat
3.
Masalah
keuangan (untuk Tinanggea)
4.
Kebijakan
Pemkab
|
2
|
Merauke (Papua). Banyak
investor yang sudah mencoba masuk, sebutlah antara lain Medco, Rajawali
Group, Sampurna, Bakrie, Wilmar, Mayora, dsb.
|
1.
Status
lahan masih status hutan
2.
Sosial
budaya masyarakat
3.
Infrastruktur
minim
4.
Varietas
5.
Serangan
penyakit
|
3
|
Lampung. Investor swasta Sunga Budhi Group. Pembangunan dimulai dengan unit
rafinasi. Memiliki HGU eks kelapa
sawit dan nanas
|
1.
Belum
memulai membangun unit sugar mill (gilingan)
2.
Unit
rafinasi terpisah dengan unit gilingan yang secara teknis dan operasional
lebih kompleks.
|
4
|
Dompu (NTB). Investor swasta yang saat ini yakin akan mulai giling akhir
tahun 2015
|
1.
Baru
memperoleh HGU sekitar 6,000 ha. Areal
lainnya masih berstatus HTI
2.
Kelas
kesesuaian lahan
3.
Ketersediaan
air untuk tanaman dan jaminan ketersediaan air untuk pabrik
4.
Potensi
konflik dengan masyarakat
|
5
|
Muna (Sulawesi Tenggara). Investor
swasta dan mulai membangun kebun benih
|
1.
Kecukupan
lahan untuk HGU
2.
Fasilitas
pelabuhan belum memadai
3.
Infrastruktur
jalan masih kurang baik
|
6
|
Sambas (Kalbar). Investor swasta.
Sudah dilakukan survai lahan
|
1.
Status
lahan
2.
Kesesuaian
lahan (sebagian gambut)
3.
Curah
hujan terlalu tinggi
|
7
|
Madura (Jawa Timur). Investor PTPN X dan ada juga Swasta
|
1.
Sosial
budaya masyarakat
2.
Penerimaan
masyarakat terhadap pembangunan pabrik gula
|
8
|
Bener Meriah (NAD)
|
1.
Tinggi
tempat tidak sesuai untuk tebu penghasil sukrosa
2.
Curah
hujan tinggi (rendemen rendah)
|
9
|
Jambi
|
1.
Tinggi
tempat tidak sesuai untuk tebu penghasil sukrosa
2.
Curah
hujan tinggi (rendemen rendah)
|
10
|
Darma Seraya (Sumbar). Investor swasta
|
1.
Luas
lahan kurang mencukupi
2.
Investor
tidak memilki dana yang cukup
|
Informasi ini mungkin tidak semuanya akurat, tetapi bagi pemangku
kepentingan dan pengambil kebijakan dapat dijadikan masukan dalam menuntaskan
masalah kelanjutan pembanguna pabrik gula dan perkebunan tebu di luar Jawa.
Tanpa campur tangan Pemerintah dengan kebijakan yang tepat, mustahil
swasembada gula nasional dapat dicapai.
Bogor, April 2015